Setiap orangtua, pasti menginginkan yang terbaik untuk anaknya. Dan setiap orang tua, pasti rela untuk melakukan apapun untuk membahagiakan anaknya, untuk memenuhi keinginan buah hati mereka ini. Bagaimana pun keadaannya.
Dick Hoyt adalah seorang pensiunan Letnan Kolonel Air National Guard yang bekerja di Boston College. Ia mempunyai harapan besar ketika istrinya mengandung seraya membayangkan anak pertamanya adalah seorang yang kuat dan tampan. Hasil pemeriksaan dokter pun mendukung sehingga Dick pun mempersiapkan nama Rick Hoyt. Namun, Tuhan berkehendak lain. Pada suatu hari di tahun 1962, dokter memberitahukan kepadanya bahwa bayi yang sedang dikandung oleh istrinya mengidap cerebral palsy. Tali pusat yang melilit leher Rick menyumbat aliran oksigen ke otaknya sehingga menyebabkan Rick menderita kelumpuhan otak (cerebral palsy). Melihat begitu kompleksnya penyakit yang diderita si bayi, dokter sempat menyarankan suami istri ini untuk ‘merelakan’ saja calon bayi dalam kandungan ini untuk tidak dilahirkan, karena nantinya pun jika bayi itu bisa dilahirkan ke dunia dengan selamat, dia pasti tetap tidak akan tumbuh dengan sempurna. Mendengar ‘saran’ dari dokter itu, sang istri, Judy, dengan tegas menolaknya, “Tidak akan mungkin kita akan menggugurkan bayi dalam kandungan ini. Kami mencintainya. Dia milik kami berdua. Kami akan membesarkannya dan membawanya ke mana pun dia bisa mewujudkan kemampuan terbaiknya kelak. Kami tidak akan, TIDAK AKAN PERNAH menyia-nyiakannya hanya karena dia BERBEDA.”
Sebuah janji yang mungkin mudah diucapkan. Tapi kita tahu, janji di atas pasti tidak akan mudah keluar dari mulut yang tidak disertai dengan keyakinan hati yang kuat. Dan kedua orangtua bayi ini memang membuktikan janjinya, untuk tidak memperlakukan anaknya yang lumpuh itu secara berbeda. Kedua orang tuanya setiap minggunya membawa bayinya ini ke Children’s Hospital di Boston di mana mereka bertemu dengan Dokter Fitzgerld, yang selalu menyemangati pasangan suami istri itu untuk berani mengambil ‘resiko’ untuk mengajak Rick kecil untuk bermain dan bergulingan di halaman atau bahkan diajak untuk berenang. Dengan kata lain, mereka memperlakukan Rick seperti anak-anak lainnya yang tumbuh tanpa keterbatasan fisik.
Hingga suatu hari di tahun 1977, Rick yang saat itu duduk di bangku sekolah menengah pertama Westfield School berkata kepada ayahnya, bahwa dia ingin sekali merasakan bagaimana rasanya mengikuti perlombaan lari. Sebuah keinginan yang ‘sangat berani’ dan mungkin teramat ‘tidak tahu diri’ untuk seorang anak yang kesehariannya harus duduk di kursi roda. Tapi mendengar keinginan putranya itu, Dick yang saat itu sudah berusia 40 tahun merasa tergerak, untuk ikut membantu mewujudkan keinginan anaknya itu.
Silakan dibayangkan bagaimana usaha yang harus dilakukan oleh Dick. Berlari menempuh jarak 5 mil menaiki bukit bukanlah hal yang mudah. Apalagi harus ditambah dengan mendorong Rick yang duduk di kursi roda. Tidak ada yang pernah menyangka kalau pasangan ayah anak ini akan bisa memenangkan perlombaan amal itu. Tidak panitia penyelenggara. Tidak pula para peserta lomba lainnya. Ketabahan dan kegigihan Dick lah yang membuatnya mampu mencapai garis finish setelah berlari mendaki, tanpa pernah sekalipun tertinggal di belakang. Tapi kemenangan yang sesungguhnya dirasakan oleh Dick bukanlah saat kakinya menginjak garis finish, melainkan ketika putranya itu mengatakan, “Ayah, ketika aku ikut berlari, aku merasa aku bukanlah lagi seorang anak cacat…”. Sehingga walaupun Dick secara fisik mengalami kelelahan dan kesakitan akibat perlombaan ini, tapi dia tetap merasakan kebahagiaan anaknya itu dan menekankan bahwa “Making Rick happy was the greatest feeling in the world…”
And so it began. Perjuangan menaklukan bukit itu menjadi awal dari cerita hebat pasangan ayah anak ini. Mereka menamakan diri mereka sebagai ‘Team Hoyt’. Dick mulai kembali berlatih lari setiap hari. Dia berlatih lari dengan mendorong 1 sak semen yang diletakkannya di kursi roda, karena putranya itu tidak bisa (dan tidak mungkin) ikut berlatih, karena kondisi fisiknya dan karena ia juga harus tetap masuk sekolah.
Hingga Februari 2008, tim ‘tangan Tuhan’ ini sudah berhasil mengikuti 958 perlombaan ketahanan fisik, termasuk di antaranya 65 lomba Maraton dan 6 Triathlon. Lomba-lomba yang dikuti oleh Dick dan Rick Hoyt ini bukanlah sebuah sesuatu yang mudah. Tidak hanya dibutuhkan kursi roda yang dirancang khusus sehingga bisa didorong dengan mudah di arena perlombaan, tapi juga dibutuhkan peralatan dan kekuatan fisik yang ‘tidak sembarangan’, terutama untuk menaklukan lomba triathlon. He pulls, pushes, and carrying his beloved son during the race.
Breathtaking sekali. Saya sendiri bingung bagaimana menemukan kalimat yang pas untuk mengambarkan perasaan saya sewaktu pertama kali diperlihatkan video tersebut. Tapi paling tidak, dari cerita hebat itu saya bisa menggambarkannya dalam 3 kata yang jika disatukan, sebenarnya bisa menjadi sebuah kalimat LOVE. CAN. WIN.
LOVE. Apa yang dilakukan oleh Dick kepada anaknya, adalah sebuah penggambaran paling nyata tentang betapa besarnya cinta seorang ayah kepada buah hatinya. Bukan hanya dengan pembuktian secara fisik melalui kemauannya untuk membawa anaknya mengikuti perlombaan-perlombaan ketahanan fisik, tapi dengan sikap MENERIMA keterbatasan anaknya sejak ia masih dalam kandungan itulah, yang juga bisa diterima sebagai perwujudan dari rasa cinta yang tulus.
CAN. Dari video itu terlihat, Rick dengan susah payah mengetikkan kata CAN melalui keyboard komputer. Seolah ingin menegaskan kembali, bahwa sebenarnya kemampuan dan imajinasi manusia itu tidak terbatas selama kita memang mau. Kita sendirilah yang seringkali MEMBATASI kemampuan kita. Rick bisa menunjukkan itu. If you think you can, you probably can. But if you think you can’t, you’re right!
WIN. Setiap orang yang mengikuti sebuah perlombaan, pasti mengharapkan sebuah kemenangan. Tapi bagaimana CARA kita memenangkan setiap tantangan dan perlombaan, kadang justru malah lebih berharga dibandingkan dengan kemenangan itu sendiri. Again, kedua ayah dan anak itu memberikan contoh nyata kepada kita, bahwa THE MOST IMPORTANT THING IN THIS LIFE IS TO HELP OTHERS TO WIN. Dick ingin memberikan sebuah perasaan bahagianya merasakan sebuah kemenangan kepada anaknya. Bahwa untuk sampai ke sana, ada sebuah proses yang tetap harus ia jalani. Sehingga pada waktunya, Dick dengan bangga mengatakan, “… sekarang ini, saya malah merasa kalau Rick lah atlit yang sesungguhnya. Saya ada hanya untuk meminjamkan lengan dan kaki saya, sehingga kita bisa berkompetisi secara bersama-sama….”
0 komentar:
Post a Comment